Kata Kata Ku

Gemericik Kata

Sabtu, 29 Juni 2013

Risalah 0



Sepucuk Risalah Untuk Kekasih Jiwa

Duhai.....wanita sederhana yang menemani kecipak hari-hari beratku.
Dikau yang berhasil meredam gelombang amarah yang sekali-kali menerjang bahtera cinta.
Dikau yang memupuk kesabaran diatas tanah nestapa yang menimpa.
Dikau yang menyulam benang-benang kesedihan menjadi songket kebahagian.
Dikau yang memasung suasana kesunyian menjadi bingar kecerian.
Dikau yang memalu semangatku untuk bertarung di sengketa hidup.
Dikau yang bernyali mencintai lelaki seperti aku apa adanya.
Dikau yang menyembelih kecemburuan dan menanaknya menjadi hidangan spesial dan bergizi.
Dikau yang mendoa siang malam untuk kebahagian keluarga kecil kita.
Dikau yang menutup aib suami dengan tirai selaksa cinta.
Dikau yang telah melahirkan putri kecil kita yang jelita.
Dikau yang ranumnya minta ampun.

Hari ini. Seperti hari pertama saat kita bertemu.
Seperti hari pertama saat aku menyatakan cinta.
Seperti hari pertama saat ijab kabul kita tergelar.
Seperti hari pertama kita mendengar kabar bahwa kau mengandung.
Seperti hari pertama putri lesung pipit kita lahir.
Hari-hari kita yang membahagia.

Tiada bingkisan istimewa yang kuberi.
Tiada seikat mawar indah yang kubeli.
Tiada seloyang tart cantik yang kuhidang.
Tiada sepotong senja yang sempat kita bersamai.
Tiada kesempurnaan laku mengawani hari-harimu.
Tiada kelimpahan materi memanjakanmu.
Tiada kemewahan apa-apa yang membuatmu dililit senyum.
Dari dulu kesahajaan saja yang aku tawarkan. Dan kau menerimanya sepenuh jiwa.

Duhai wanita yang membalut penuh relung-relung sanubari, yang mampu merayakan setiap suasana, yang mengempitakan rona-rona kebahagian jiwa, yang menumbuh-suburkan kelembutan dan keteduhan hati.

Di hari pengingat berkurangnya helai-helai usia kita. Aku menghaturkan kata maaf, tentang khilaf, tentang alpa, tentang kemarahan, tentang tangis, tentang kesedihan, tentang luka, tentang kesenangan yang tertunda dan tentang sederet prilaku negatif yang menodai hari-hari bahagiamu.

Akupun mengucapkan terimakasih dengan tulus dari palung hati yang terdalam, tentang semua hal yang telah kau beri. Aku berdoa hingga sembab mata semoga Allah membalas kebaikanmu selama ini. Aku sadar sesadar-sadarnya hanya memberimu seporsi cinta dan segelas kasih, tapi kau mendonasikan seluruh waktu serta hidupmu untuk mencintaiku dan mengasihiku.[]



RasidiSamee
Pondok pinang. 291112




Risalah 4



RCBT : Dari buku harian Tsabitah

Aku melihat wajah cemas kedua orangtuaku. Aku menatap keduanya lurus, dan terang-terangan. Otakku memerintahkan untuk mempertahankan momen ini.  Aku ingin tahu, apa yang terjadi. Perasaanku mengatakan pasti ada hal yang luar biasa telah terjadi.

Beberapa tetangga juga berkerumun mengitari kedua orangtuaku. Dari cakap-cakap yang aku dengar, aku tahu. Tsabitah terjatuh dari tempat tidur, bibirnya berdarah, saat Uminya sibuk memasak. Bawa ke klinik, seru mereka kompak.

Aku masih mendengar semuanya. Bahkan ketika di ruang tunggu klinik disambut hangat oleh Bidan Ella -satu wajah yang sangat familier karena berjasa membantu proses kelahiranku- aku senang sekali. Banyak orang, pikirku. Sesekali aku bertepuk tangan, dan mengeracau ini itu. Bidan Ella tertawa saat aku tersenyum.

”Tak ada hal yang patut dikhawatirkan,” ujarnya tak dibuat-buat, menenangkan Umiku. Aku lega.

Sebelumya. Aku tidur sendirian di atas matras setebal 30 cm, setelah paginya aku dimandikan dan di suapi makanan oleh Umi. Biasanya aku tidur satu sampai satu setengah jam. Entah kenapa aku tak begitu mengantuk. Baru beberapa menit berlalu aku bangun tanpa suara tangisan. Aku tak mau merepotkan Umi. Kalau Umi tahu aku terjaga pasti ia akan kembali mendekapiku. Dan tentu akan membuat banyak pekerjaannya tertunda. Umi sebenarnya telah melindungi diriku dengan guling dan bantal di sekelilingku. Tapi hal tersebut justru yang membuat adrenalinku terpacu. Aku pikir aku bisa menaklukkan rintangan itu.

Ada cangkir plastik merah strowbery di bawah sana. Tepat di pojokkan rak buku-buku Abiku. Cangkir plastik dan buku beberapa bulan ini menjadi kegemaranku. Entah kenapa aku amat terobsesi akan keduanya. Rasanya gigiku yang baru tumbuh memerintahkan untuk mengigit-gigit benda-benda itu. Mungkin dua benda ini terlalu akrab di kediamanku. Gelas beling itu berbahaya kita pakai cangkir plastik saja kata Abi,  aku tak mengerti, orang tua memang sering membuat aku bingung. Sedangkan buku, aku sering melihat Abi menatap mesra benda itu, serius sekali. Maka tak jarang ketika Abiku tak sengaja terlelap sambil memegang benda itu aku segera meraihnya dan merobek beberapa halaman. Aku ingin merasakan apakah benda yang ditatap mesra itu enak pula kalau dimakan.

Umi sering menasehatiku agar aku jangan terlalu banyak bergerak jika sedang di tempat tidur.
”Nanti jatuh,” katanya.
”Kalo jatuh memang kenapa,” aku bertanya.
”Kalau jatuh ya sakitlah rasanya Nak,” katanya lagi.
”Apa guna rasa sakit,” tanyaku lugu.
”Rasa sakit berguna mengajarkan kita, tapi kalau rasa sakit sampai terasa berarti semua sudah terlambat Nak,” katanya.
”Tapi itulah gunanya orangtua, untuk mengajarimu agar kamu tak terjatuh,” lanjutnya.

Waw, aku pikir ini menakjubkan sekali. Ada sesi percakapan emosional antara aku dan Umi. Transisi bahasa non verbal yang luar biasa mulus, tak perlu penerjemah. Ini bahasa Ibu.

Di tempat tidur inilah, entah untuk kesekian kali kami membicarakan banyak hal atau membicarakan hal-hal yang sama. Berulang-ulang. Tapi aku tetap suka. Termasuk masalah terjatuh dan rasa sakit. Seperti kata Umi, semuanya sudah terlambat ketika mendapatiku meraung di pojok rak buku. Aku terjatuh dengan bagian muka lebih dulu mencium lantai. Bibirku berdarah. Benar merasa sakit. Kurang lebih begitulah.[]


RasidiSamee
Pondokpinang 020613






Risalah 3



Risalah Cinta Buat Tsabitah

Tsabitahku tersayang...
Surat-surat yang lalu aku telah banyak bercerita tentang cinta kami terhadapmu, dan betapa sukacitanya kami akan kelahiranmu. Banyak nasehat dan pengharapan yang tertoreh pada gapura selamat datang atas kehadiranmu.

Pada kesempatan ini, izinkan aku bercerita sedikit tentang wanita yang melahirkanmu, wanita yang mampu memahat prasasti karang cinta di semenanjung hatiku. Membangun arsitektur asmara di pedalaman jiwaku. Kau tahu, aku berkali-kali jatuh cinta pada wanita ini sepanjang hidupku. Kau boleh tersenyum Tsabitah.

Sampai sekarang, setelah kau lahir, aku semakin merekat dengan Ibumu, (kau biasa memanggilnya Umi) aku semakin peka akan getaran kehadirannnya lebih daripada waktu-waktu yang lalu. Pernah suatu waktu, aku menjumpainya secara tak sengaja di tengah khalayak ramai ( di sebuah mall yang sering kami kunjungi menikmati keberduaan sebelum kau lahir). Kau tahu apa yang kurasakan saat itu. Rasanya semua orang yang ada disana bersekutu mengalunkan lagu paling merdu untuk kami, pun pula akhirnya kami mendekat rasanya aku ingin berpelukan saja.

Kalau aku pulang pada sore hari, aku selalu menikmati moment setiap cecah langkahku mendekati pintu rumah. Aku sering berdebar-debar menunggu ibumu membuka pintu dan menjawab salam dengan suara altonya, ia akan bergegas menyambut kedatanganku, meninggalkan apapun yang sedang ia kerjakan, kemudian mencium tanganku, mendekatkan tubuhnya kepada tubuhku, menyatakan kerinduan dengan bahasa tubuh. Ah, Tsabitah. Sungguh, saat-saat paling mustajab melarung keletihan ketika lapisan epidermis kami bersentuhan.

Ibumu tak memerlukan waktu lama untuk menenangkan kerusuhan hatiku yang bersemayam sepanjang hari. Ia mengajarkan bahwa ketenangan jiwa merupakan jawaban dari kekalutan diriku.

Biasanya setelah itu, aku akan duduk termenung sendirian, tidak, tidak persis seperti itu, ditemani segelas teh hangat beraroma melati dan beberapa potong biskuit yang berlapis ratusan, sambil memandang dirinya yang lalu-lalang menunai pekerjaan rumah tangga. Dalam kesendirian aku tak henti-hentinya bersyukur atas anugrah dalam hidupku ini, seperti sebuah lagu romantis bahwa keindahan baitnya melumuri sepajang instalasi kalimat di dalamnya.

Oh, Tsabitah. Kau sungguh beruntung dilahirkan dari wanita ini, belajarlah kelak nak! tentang pengabdian dan kesetiaan, tentang cinta dan kebahagian pada wanita yang kau panggil Umi ini. Tsabitah kau sungguh beruntung.


Rasidisamee 280313

Risalah



Risalah Cinta Buat Tsabitah: TENTANG NAMAMU

Tsabitahku sayang...
Di hari aku membuat surat ini, kau baru terhitung bulan, baru tumbuh gigi, baru menelan makanan selain ASI. Umurmu pun masih terlalu muda mentah, ketika suatu saat kau mulai bisa membaca dan mengerti apa yang aku tulis.

Bagi kami orangtuamu. Kau adalah anugrah terindah dalam hidup keberduaan kami. Kau datang pada saat yang tepat, disaat kerinduan kami tentang anak seperti wajan berkerak, bernoda hitam arang. Disaat kesedihan kami tentang keterasingan serupa suara jangkrik berisik tak penting di pekat malam. Namun, kau memulas wajan menjadi bersih berkilau, lebih mengkilat dari detergen merk apapun. Kau aransemen semua suara jangkrik menjadi senandung alam yang syahdu, membuat kami yang mendengar tak henti mengucap syukur berkali-kali, berkali-kali.

Pertengahan bulan kesembilan di tahun dua ribu dua belas. Kau lahir. Betapa sukacitanya kami waktu itu. Wajahmu ranum terang diwarisi dari kemolekan Umimu, hidungmu mancung dan itu seperti hidungku. Kau cantik, imut dan menggemaskan. Aku tersenyum bahagia melihat Umimu tersenyum bahagia. Empat tahun kami menunggu kehadiranmu dengan harap cemas. Tak perlu ku ceritakan perihnya torehan menunggu dan pedihnya teriris merindu. Kelak, suatu saat kau akan pernah merasakan seperti juga semua orang merasakannya.

Tak pelak, kehadiranmu melarung semua kesedihan dan kepedihan kami. Kami merasa bahwa benar surga  itu ada, di dunia dan kehidupan setelahnya. Itulah hidup kami kini, berada ditengah-tengah nirwarna. Aku bahagia, Umimu bahagia, orang tua kami bahagia, orang-orang di sekitar kami yang bersimpati dan berempati atas kehidupan kamipun bahagia.

Lalu kami berpikir untuk segera menyematkan nama cantik kepadamu. Nama yang membuat kamu terdengar bertambah jelita dan indah, nama yang menyempurnakan arti kehadiranmu. Hanya sejenak waktu, kemudian kami menemukan dua kata itu. Kata-kata yang merepresentasikan perasaan kami, perasaan orang tua kami, perasaan orang-orang di sekitar kami. FARIHA AT-TSABITAH : Orang yang senantiasa bahagia. Begitu kira-kira terjemahannya.

Kami percaya sebuah nama adalah kalimat doa. Kami percaya kebahagianlah yang dicari semua orang. Kami percaya kebahagiaan harus di pelihara sehingga makin bertumbuh. Kata orang, kita harus bahagia dulu sebelum membuat orang bahagia. Tapi, kami menemukan kenyataan bahwa kehidupan ternyata tak selalu menyenangkan. Selalu ada duka dan kesedihan pada setiap alir takdir. Hidup tak selalu mudah, tentu pula tidak membuat kita bahagia. Kami menghayati itu sebagai suatu keniscayaan. Dan itu tersusun rapi dalam bilik-bilik kenangan kami.

Tapi kami tahu hidup tetap berjalan. Tak ada waktu untuk menimbun kesedihan untuk kemudian memasak dan menghidangkannya dalam helat kepedihan. Itu tidak berguna, sama sekali tidak berguna.

Maka kami mendengarkan nasehat orang bijak, bagaimana menghadapi pertarungan di sengketa kehidupan. Resep sederhana dari nasehat itu adalah ikhlas menjalankan apa saja yang digariskan oleh-Nya. Menerima dengan sepenuh hati bahwa kita hidup di bawah kuasa-Nya. Terlebih, kebahagian bukan terletak pada kejadian-kejadian yang membuat kita tertawa. Tidak pula terletak pada kejadian-kejadian yang membuat kita menangis. Tapi kebahagian tertelak pada betapa bijak kita menyikapi segala sesuatu untuk menjadi indah.

Kami berharap kau akan senantiasa bahagia dan senantiasa memancarkan kegembiraan seperti makna dari namamu. Seperti saat kau melarung kidung kesedihan kami menjadikan senandung suka cita.[]


RasidiSamee




Artikel



Fokus pada Apa yang kau mau

”Aku bukanlah makhluk yang paling bahagia”.....seorang sahabat dengan semangat dan sepertinya antusias sekali mencurahkan gulana hatinya pada pesan di inboxku.

Sekilas. Sepertinya tidak ada yang salah. Sepertinya kita juga cepat memahami bahwa hidup memang tak selalu mudah, tidak cukup mengkiaskan hidup bak roda pedati, harus lebih lengkap dengan jalan berlumpur dan berlubangnya. Pendek kata, dari zaman purba hingga masa yang akan tiba, hidup kita tak selalu mudah. Tapi, kabar gembiranya adalah kita hidup tidak sendiri di fana dunia ini. Kita hidup bersisian dengan kenangan, pengalaman dan pengajaran oleh orang lain dan terkadang kita sendiri sebagai pelaku. Kita hidup sempurna dengan racikkan bumbu kehidupan, terserah kita, menu apa yang mau kita hidangan. Begitu saja. Kita yang menjadi penentu pilihan.

Sebuah pelajaran banyak di ingatkan kepada kita pada forum diskusi serta kajian-kajian keilmuan. Dengan amat terpaksa saya harus memaksa sahabat untuk mempercayai ini. Sebuah teori dasar dan sederhana dalam psikologi mengatakan bahwa: Pikiran yang dominan tentang suatu hal punya kecenderungan yang besar akan terjadi. Pesan moralnya adalah, kita di suruh selalu berpikiran positif –khusnuzdhon dalam bahasa agama—tentang apa dan bagaimana alur takdir kehidupan, agar apapun yang kita tuai nanti merupakan bibit kebaikan yang kita semai hari ini. Dan, hal paling sederhana yang mewakili pikiran kita adalah perasaan kita sendiri. Ketika kita berani mengatakan ’kita tidak bahagia’. Maka, bisa di tebak hasilnya kita tidak bahagia.

Tentang sahabat saya ini. Rupanya pikiran tentang ketidakbahagian telah memenjara dirinya, terlalu banyak mengeluh, tanpa sadar ia telah mengunci dirinya sendiri dalam ruang gelap, tak menyisakan celah untuk mengucapkan terimakasih-syukur- atas apa yang telah diterima. Padahal, banyak nikmat yang patut ia syukuri...orangtua utuh, kakak yang ia sayangi dan juga menyanyanginya, adik-adik yang lucu-lucu, tetangga yang ramah, punya rumah, kendaraan yang layak untuk seumuran dirinya, tidak berjerawat, dan relatif rupawan....apalagi. sedangkan ketidakbahagian dirinya—setelah aku terawang-terawang—hanya bersebab satu hal saja.

Terkait dengan ungkapannya. Bukankah itu ekspresi suasana hati yang paling lugu. Hati yang menyuruh akal untuk berpikir, kemudian pikiran yang menyuruh mulut berbicara—tentu kemungkinan kita lebih jujur dalam bicara ketika kita mentas di panggung curhat—jadi, sungguh kita di minta waspada untuk bicara.

Kalau kau percaya Tuhan menjawab semua doa
Kalau kau percaya pikiran dapat mengubah hidupmu
Kalau kau percaya pikiran akan membuatmu bahagia
Kalau kau percaya mendapatkan jodoh yang baik bagi hidupmu
Kalau kau percaya akan senantiasa sehat dalam hidupmu
Kalau kau percaya mendapatkan keturunan yang menenteramkan hati
Kalau kau percaya menerima kelimpahan materi
Kalau kau percaya hidupmu berpayung cinta
Kalau kau percaya di anugrahi sahabat-sahabat yang menguatkan
Kalau kau percaya kau mati dalam khusnulkhotimah

Percayalah akan hal itu dan mulailah berpikir ke arah itu.
Sederhananya mulailah fokus tentang apa yang kau inginkan saja, jangan berfokus akan apa yang tidak kau inginkan. Begitu saja.

(untuk sahabat baikku nun di sana. : aku tergelitik untuk menuangkan persepsiku tentang kebahagian. Tapi, kau saat itu mengebu dan menderu...aku tertinggal di luar, menunggu....hari ini aku genapkan jawaban. Semoga kita berdamai lagi. Karena Allah aku mencintaimu)[]


Rasidisamee, akhir mei.  2011