Celoteh
Kala Gulita
Gulita menyungkup. Cahaya rembulan menyusup
malu di sela-sela tirai yang tak rapi tertutup. Kau tersenyum manja, walau
samar, tapi tetap jelas terlihat manis. Manis sekali, serasa gula jawa, seperti
senyummu yang lalu. Aku tertawa.
“Mengapa kau tertawa?” Aku, aku, ah nga’
pingin ketawa aja.” Gagap, jawabku asal. Kau kecewa.
Kemudian kita bersitatap lama, lama sekali serasa menunggu kereta di
stasiun kota. Bersitatap dalam, dalam sekali serasa menyelam dasar samudra, seakan
inilah tatapan terakhir yang kita bersamai.
Sungguh, inilah kali pertama kau membalas tatapanku. Sebelumnya, dalam
banyak kesempatan kau selalu menghindar, atau paling tidak kau tersipu.
Aku mengira, mungkin ini karena listrik padam. Membuat kau punya keberanian
untuk coba-coba beradu nyali. Sejak magrib tadi, saat kau siap-siap untuk
menyetrika tumpuk pakaian kita yang membukit, saat aku masih disibukkan dengan
barang dagangan. Tiba-tiba saja lentera tak menyala, sepakat kita tinggalkan
semua, hingga berserak tak berupa. Memutuskan untuk segera bercengkrama di
peraduan kita.
Berbaring bersisian, dalam jarak yang cukup dekat untuk merasakan helaan
nafas, mencium aroma wangi dari gerai rambutmu yang sebahu. Sunyi. Padahal malam
masih belia, karena senja baru saja selesai menebar pesona. Memamerkan gurat-gurat
cantik cahaya merah bercampur warna kuning keemasannya.
Tadinya aku mau megerutu. Kenapa harus mati lampu? Mencaci perusahaan
listrik Negara yang semena menaikkan harga tidak meningkatkan mutu. Memaki
karena tak seberapa rupiah laba yang kuperoleh hari ini, tapi kau mencegahku.
“Tak usah kau kecewa, nikmati saja segala perjalanan
waktu dan kejadian yang digariskan olehNya. Gulita dan benderang tak akan
membunuhmu, yang penting kau bahagia.” Lembut menyapa, mendayu merdu, merdu
sekali serupa biduan wanita.
Entah kenapa aku selalu setuju setiap untai kata yang kau ucap, seakan daya
kritisku di kebiri, aku hanya tunduk, patuh bak lembu dicocok hidung. Tapi
betul, aku pikir ini aksiomatis. Setelah berabad ringkih usia peradaban dunia, bukankah
kebahagian yang selalu di cari semua orang. Miskin papa atau kaya raya, raja
atau jelata. Termasuk bagi para zuhud dengan kesahajaannya mengharapkan
kebahagian akhirat, dan bagi budak nafsu memburu kebahagian dunia. Padahal
kebahagian adalah hak lahir kita. Predikat yang mestinya kita sandang bagi
mahluk berahklakulkarimah. Pewaris Anbiyapun pula berkesimpulan kebahagian hakiki
berasal dari hati yang beriman kepadaNya.
Aku mengoda.“Kalo begitu, apa yang membuatmu bahagia” tanyaku dengan nada
retoris.
“Semua hal, termasuk kebencian dan kekecewaan.” Semangat dan tegas kau
menjawab pertanyaan isengku.
“Kebencian dan kekecewaan?” aku terpancing. Berat.
Ah tidak, aku tak mau terpancing dalam obrolan berat, seperti katamu tadi nikmati
saja malam ini. Untuk itu, aku tidak mau membicarakan kebencian dan kekecewaan.
Tidak seperti dirimu, aku belum bisa menikmati adonan kue kebencian dan
kekecewaan dengan bahagia. Ada baiknya tak kulanjutan obrolan kebencian dan
kekecewaan ini.
Aku berpikir keras untuk mengalihkan topik. Benar saja, setelah beberapa
waktu berlalu akhirnya cahaya terang riung di atas kepalaku. Ide cemerlang!. Sejenak
aku memuji diriku. “Kau pria pintar.”
Bagaimana kalau aku tanya tentang gulita, aku merasa cemerlang, cemerlang
sekali seperti kilau berlian. Bukankah sebagian besar wanita takut akan
kegelapan. Dalam hati, aku berlonjak girang. Sebentar lagi aku menang, menyasar
destinasi terselubung yang sedari tadi kubumbung.
Dalam benakku. Aku membayangkan reaksi ketakutan mendera yang membuat
dirimu merapat, dekat, lekat kemudian rekat, rekat sekali dalam pelukan hangat
tubuhku. Nanti, akan ku karang cerita bohong dengan aroma mistis, ku bumbui
cerita dengan penampakan si Kunti yang menjuntai pada dahan pohon Asam yang
sendirian tumbuh di seberang jalan.
Pikirku, tema gulita akan membuatmu resah, gelisah dan menyerah. Takluk. Dan
kau berlaku lazimnya tawanan perang yang mohon perlindungan dari penguasa.
Membuat diriku merasa perkasa.
Tapi aku keliru dengan harapan, ternyata estimasiku salah. Coba tebak apa
yang dia kata. “Aku suka gelap” dia menjawab, juga dengan semangat dari bersit tanyaku
tentang gulita yang tak sempat terucap. Aku speachless.
Wanita macam apa yang aku nikahi ini. Mengapa dia tidak takut gelap, Kenapa
setiap keadaan dia suka, lebih-lebih dia seolah tahu isi kepala. Pelajaran apa
lagi yang akan kuterima di tengah gulita malam ini.
“Kau tahu tidak? gelap, sepi, sunyi membuatku bahagia, karena keadaan itu
akan membuat aku bisa mengingat dengan jernih apa saja dosa atas laku. Bahkan
dalam gelap aku tak malu menangis, dengan menangis aku bisa mengekspresikan
perasaan yang terdalam yang kurasa. Gelap juga melahirkan introspeksi utuh
tentang sikap yang tertancap. Bagiku pula gelap akan menjadi pematik ingatanku,
dia akan membawa diriku ke alam bawah sadar untuk mengingat betapa indahnya
kenangan yang berlalu. Mengingat sahabat lama, mengingat masa pacaran dulu,
atau masa di mana aku kecil dengan semua hal yang aku bisa mengambil pelajaran.”
Aku terpana !!!
“Kau tahu tidak? kau menanya lagi.
“Tidak” aku menjawab sekenanya.
“Terlalu” kau mengucap dengan intonasi suara meniru bang Haji Roma.
Aku tersenyum berbalut geli.
“Ada beberapa waktu istimewa untuk munajat agar terkabul, salah satunya
sepertiga malam. Saat sunyi dan gelap bersekutu, dimana manusia terlelap dalam
senyap.” Kau melanjutkan dalam deret
panjang gerbong pencerahan. Dalam pasrah aku dengar saja, kau berceloteh
panjang lebar tentang gulita, seolah tema ini amat menarik bagimu, sebenarnya
tidak bagiku malam ini.
Aku mengutuk diri. Aku salah mengambil tema. Aku bodoh telah melontarkan
pertanyaan bodoh, membuat diriku terlihat bodoh. Mengagalkan destinasi hasrat
yang hendak aku sasar tadi. Tapi aku tak menyesal. Kemudian aku terlelap, lelap
sekali.
Di luar makin gulita, semilir angin membawa pesan masuk dari sela-sela
jendela. Sayup-sayup terdengar suara dari dahan pohon Asam seberang jalan “ Kau
pria bodoh” si kunti bicara?.[]
RasidiSamee
Situ gintung 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar