Kata Kata Ku

Gemericik Kata

Jumat, 28 Juni 2013

Catatan



Celoteh Kala Gulita


Gulita menyungkup. Cahaya rembulan menyusup malu di sela-sela tirai yang tak rapi tertutup. Kau tersenyum manja, walau samar, tapi tetap jelas terlihat manis. Manis sekali, serasa gula jawa, seperti senyummu yang lalu. Aku tertawa.

“Mengapa kau tertawa?” Aku, aku, ah nga’ pingin ketawa aja.” Gagap, jawabku asal. Kau kecewa.

Kemudian kita bersitatap lama, lama sekali serasa menunggu kereta di stasiun kota. Bersitatap dalam, dalam sekali serasa menyelam dasar samudra, seakan inilah tatapan terakhir yang kita bersamai.

Sungguh, inilah kali pertama kau membalas tatapanku. Sebelumnya, dalam banyak kesempatan kau selalu menghindar, atau paling tidak kau tersipu.

Aku mengira, mungkin ini karena listrik padam. Membuat kau punya keberanian untuk coba-coba beradu nyali. Sejak magrib tadi, saat kau siap-siap untuk menyetrika tumpuk pakaian kita yang membukit, saat aku masih disibukkan dengan barang dagangan. Tiba-tiba saja lentera tak menyala, sepakat kita tinggalkan semua, hingga berserak tak berupa. Memutuskan untuk segera bercengkrama di peraduan kita.

Berbaring bersisian, dalam jarak yang cukup dekat untuk merasakan helaan nafas, mencium aroma wangi dari gerai rambutmu yang sebahu. Sunyi. Padahal malam masih belia, karena senja baru saja selesai menebar pesona. Memamerkan gurat-gurat cantik cahaya merah bercampur warna kuning keemasannya.

Tadinya aku mau megerutu. Kenapa harus mati lampu? Mencaci perusahaan listrik Negara yang semena menaikkan harga tidak meningkatkan mutu. Memaki karena tak seberapa rupiah laba yang kuperoleh hari ini, tapi kau mencegahku.

 “Tak usah kau kecewa, nikmati saja segala perjalanan waktu dan kejadian yang digariskan olehNya. Gulita dan benderang tak akan membunuhmu, yang penting kau bahagia.” Lembut menyapa, mendayu merdu, merdu sekali serupa biduan wanita.

Entah kenapa aku selalu setuju setiap untai kata yang kau ucap, seakan daya kritisku di kebiri, aku hanya tunduk, patuh bak lembu dicocok hidung. Tapi betul, aku pikir ini aksiomatis. Setelah berabad ringkih usia peradaban dunia, bukankah kebahagian yang selalu di cari semua orang. Miskin papa atau kaya raya, raja atau jelata. Termasuk bagi para zuhud dengan kesahajaannya mengharapkan kebahagian akhirat, dan bagi budak nafsu memburu kebahagian dunia. Padahal kebahagian adalah hak lahir kita. Predikat yang mestinya kita sandang bagi mahluk berahklakulkarimah. Pewaris Anbiyapun pula berkesimpulan kebahagian hakiki berasal dari hati yang beriman kepadaNya.

Aku mengoda.“Kalo begitu, apa yang membuatmu bahagia” tanyaku dengan nada retoris.
“Semua hal, termasuk kebencian dan kekecewaan.” Semangat dan tegas kau menjawab pertanyaan isengku.
“Kebencian dan kekecewaan? aku terpancing. Berat.

Ah tidak, aku tak mau terpancing dalam obrolan berat, seperti katamu tadi nikmati saja malam ini. Untuk itu, aku tidak mau membicarakan kebencian dan kekecewaan. Tidak seperti dirimu, aku belum bisa menikmati adonan kue kebencian dan kekecewaan dengan bahagia. Ada baiknya tak kulanjutan obrolan kebencian dan kekecewaan ini.

Aku berpikir keras untuk mengalihkan topik. Benar saja, setelah beberapa waktu berlalu akhirnya cahaya terang riung di atas kepalaku. Ide cemerlang!. Sejenak aku memuji diriku. “Kau pria pintar.”

Bagaimana kalau aku tanya tentang gulita, aku merasa cemerlang, cemerlang sekali seperti kilau berlian. Bukankah sebagian besar wanita takut akan kegelapan. Dalam hati, aku berlonjak girang. Sebentar lagi aku menang, menyasar destinasi terselubung yang sedari tadi kubumbung.

Dalam benakku. Aku membayangkan reaksi ketakutan mendera yang membuat dirimu merapat, dekat, lekat kemudian rekat, rekat sekali dalam pelukan hangat tubuhku. Nanti, akan ku karang cerita bohong dengan aroma mistis, ku bumbui cerita dengan penampakan si Kunti yang menjuntai pada dahan pohon Asam yang sendirian tumbuh di seberang jalan.

Pikirku, tema gulita akan membuatmu resah, gelisah dan menyerah. Takluk. Dan kau berlaku lazimnya tawanan perang yang mohon perlindungan dari penguasa. Membuat diriku merasa perkasa.

Tapi aku keliru dengan harapan, ternyata estimasiku salah. Coba tebak apa yang dia kata. “Aku suka gelap” dia menjawab, juga dengan semangat dari bersit tanyaku tentang gulita yang tak sempat terucap. Aku speachless. Wanita macam apa yang aku nikahi ini. Mengapa dia tidak takut gelap, Kenapa setiap keadaan dia suka, lebih-lebih dia seolah tahu isi kepala. Pelajaran apa lagi yang akan kuterima di tengah gulita malam ini.

“Kau tahu tidak? gelap, sepi, sunyi membuatku bahagia, karena keadaan itu akan membuat aku bisa mengingat dengan jernih apa saja dosa atas laku. Bahkan dalam gelap aku tak malu menangis, dengan menangis aku bisa mengekspresikan perasaan yang terdalam yang kurasa. Gelap juga melahirkan introspeksi utuh tentang sikap yang tertancap. Bagiku pula gelap akan menjadi pematik ingatanku, dia akan membawa diriku ke alam bawah sadar untuk mengingat betapa indahnya kenangan yang berlalu. Mengingat sahabat lama, mengingat masa pacaran dulu, atau masa di mana aku kecil dengan semua hal yang aku bisa mengambil pelajaran.”

Aku terpana !!!
“Kau tahu tidak? kau menanya lagi.
“Tidak” aku menjawab sekenanya.
“Terlalu” kau mengucap dengan intonasi suara meniru bang Haji Roma.
Aku tersenyum berbalut geli.

“Ada beberapa waktu istimewa untuk munajat agar terkabul, salah satunya sepertiga malam. Saat sunyi dan gelap bersekutu, dimana manusia terlelap dalam senyap.” Kau melanjutkan dalam deret panjang gerbong pencerahan. Dalam pasrah aku dengar saja, kau berceloteh panjang lebar tentang gulita, seolah tema ini amat menarik bagimu, sebenarnya tidak bagiku malam ini.

Aku mengutuk diri. Aku salah mengambil tema. Aku bodoh telah melontarkan pertanyaan bodoh, membuat diriku terlihat bodoh. Mengagalkan destinasi hasrat yang hendak aku sasar tadi. Tapi aku tak menyesal. Kemudian aku terlelap, lelap sekali.

Di luar makin gulita, semilir angin membawa pesan masuk dari sela-sela jendela. Sayup-sayup terdengar suara dari dahan pohon Asam seberang jalan “ Kau pria bodoh” si kunti bicara?.[]


RasidiSamee

Situ gintung 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar