Risalah Cinta
Buat Tsabitah
Tsabitahku
tersayang...
Surat-surat yang
lalu aku telah banyak bercerita tentang cinta kami terhadapmu, dan betapa
sukacitanya kami akan kelahiranmu. Banyak nasehat dan pengharapan yang tertoreh
pada gapura selamat datang atas kehadiranmu.
Pada kesempatan
ini, izinkan aku bercerita sedikit tentang wanita yang melahirkanmu, wanita
yang mampu memahat prasasti karang cinta di semenanjung hatiku. Membangun
arsitektur asmara di pedalaman jiwaku. Kau tahu, aku berkali-kali jatuh cinta
pada wanita ini sepanjang hidupku. Kau boleh tersenyum Tsabitah.
Sampai sekarang,
setelah kau lahir, aku semakin merekat dengan Ibumu, (kau biasa memanggilnya Umi)
aku semakin peka akan getaran kehadirannnya lebih daripada waktu-waktu yang
lalu. Pernah suatu waktu, aku menjumpainya secara tak sengaja di tengah
khalayak ramai ( di sebuah mall yang sering kami kunjungi menikmati keberduaan
sebelum kau lahir). Kau tahu apa yang kurasakan saat itu. Rasanya semua orang
yang ada disana bersekutu mengalunkan lagu paling merdu untuk kami, pun pula
akhirnya kami mendekat rasanya aku ingin berpelukan saja.
Kalau aku pulang
pada sore hari, aku selalu menikmati moment setiap cecah langkahku mendekati
pintu rumah. Aku sering berdebar-debar menunggu ibumu membuka pintu dan
menjawab salam dengan suara altonya, ia akan bergegas menyambut kedatanganku,
meninggalkan apapun yang sedang ia kerjakan, kemudian mencium tanganku,
mendekatkan tubuhnya kepada tubuhku, menyatakan kerinduan dengan bahasa tubuh.
Ah, Tsabitah. Sungguh, saat-saat paling mustajab melarung keletihan ketika
lapisan epidermis kami bersentuhan.
Ibumu tak
memerlukan waktu lama untuk menenangkan kerusuhan hatiku yang bersemayam
sepanjang hari. Ia mengajarkan bahwa ketenangan jiwa merupakan jawaban dari
kekalutan diriku.
Biasanya setelah
itu, aku akan duduk termenung sendirian, tidak, tidak persis seperti itu,
ditemani segelas teh hangat beraroma melati dan beberapa potong biskuit yang
berlapis ratusan, sambil memandang dirinya yang lalu-lalang menunai pekerjaan
rumah tangga. Dalam kesendirian aku tak henti-hentinya bersyukur atas anugrah
dalam hidupku ini, seperti sebuah lagu romantis bahwa keindahan baitnya
melumuri sepajang instalasi kalimat di dalamnya.
Oh, Tsabitah. Kau
sungguh beruntung dilahirkan dari wanita ini, belajarlah kelak nak! tentang
pengabdian dan kesetiaan, tentang cinta dan kebahagian pada wanita yang kau
panggil Umi ini. Tsabitah kau sungguh beruntung.
Rasidisamee
280313
Lanjutkan kisahnya...i hope to be countinue..
BalasHapusok......
Hapus