Kata Kata Ku

Gemericik Kata

Sabtu, 29 Juni 2013

Cerpen



Hikayat mimpi Sukur
By: Rasidi Samee

Bukan Sukur namanya bila tak cakap menggalah mimpi. Pandai sangat dia menjunjung angan. Walau tak berpendidikan formal tinggi, pantang baginya menyurut langkah, memiskinkan cita-cita. Tekad telah bulat. “Jakarta akan aku taklukkan.” Semangatnya terpatri. Kini, jalan telah dia retas. Lorong gelap telah disinari, lentera telah pula terpasang. Tiada suatu apapun yang dapat menghalang. Pun pula diabaikannya imbauan orang-orang kampung, “Jangan ke Jakarta” dianggapnya angin lalu.

Kalaulah ada hal yang amat di seganinya adalah petuah dari bibir tua yang di dalam perutnya dia pernah bersemayam sembilan bulan sepuluh hari. Perempuan yang amat dia hormati, lebih dari apapun. Di dalam keluarganya, dia merupakan bungsu dari tujuh saudara, tapi dialah orang yang paling sering mengapung mimpi. Ada-ada saja asanya, macam-macam pula lakunya. “Aku akan mendapat cinta dan citaku di Jakarta.” menjawab dari kerubung tanya sanak saudara, mendengar itu, yang lain serentak geleng-geleng kepala tak percaya.

Sukur merasa tersanjung terlahir sebagai petarung, sukar baginya berdiam berpangku tangan di kampung. Oi, apalah istimewanya hidup dari limpah harta orang tua, tak ada seninya, begitu Sukur berbisik ke telinganya sendiri.

Semangat karangnyalah membuat hati induk semangnya luluh. Pada satu siang yang syahdu haru, Setelah satu dua tetes air asin mengalir dari sudut pelupuk telaga teduh Emaknya. Perempuan sepuh itupun berucap. “Doa Emak menyertaimu Nak.” Hmh, apalagi pikirnya, restu telah di genggam, semacam layar telah terkembang, tinggal aku kayuh biduk agar berlabuh, bukankah ridho Allah terletak pada ridho orang tua, Sukur membatin. Baginya, itu lebih dari cukup menjadi bekal jauh untuk pergi dari pelosok kampung pingiran sungai Batanghari, tengah pulau Sumatera.

Selain itu, hatinya telah kukuh, tak maunya dia di cap tak maju, bujang lapuk tak laku-laku. Mendengar itu, terkadang hatinya perih terasa teriris sembilu, pedas pula telinganya menahan gulana pilu. Itu pulalah menjadi sekian alasan dia keluar dari kampungnya, berkelana di belantara hutan beton Jakarta menjemput cinta dan citanya.

Sebenarnya, bukan motivasi keterbatasan finansial yang dia bawa serta ke Ibukota. Keluarganya amat bestari, Bapaknya pernah menjabat kepala desa, sebagai tetua kampung sering di sebut takzim para warga, berdiri terhormat dalam jajaran elit masyarakat. Sebut saja haji Saad, tak perlu bingung macam Ayu ting-ting mencari alamat. Semua orang tahu. Kebun karet berbidang-bidang, puluhan ternak kerbau dan pulau-pulau pohon Duku, Durian, dan Lengkeng, banjir laba kala musim buah tiba. Belum lagi, berpuluh-puluh keramba apung di daerah aliran sungai beriak tenang Batanghari, tiga atau empat kali purnama, kalau peruntungan lagi bagus bisa mendulang rupiah tak terhingga.

Kemilau harta ini, tidak juga membuat Sukur besar kepala, tak mau dia bersiasat hati menggelap mata. “Itu harta orang tua” katanya. Cukuplah orang tua membekal ilmu agama, masalah materi biar lebih terhormat harus dicari sendiri. Saudara-saudaranya banyak pula yang menjadi pegawai negeri, saban petang pulang dengan seragam sama ciri, macam tak punya pakaian warna lain saja. Geli. Kini, Sukur balas geleng-geleng kepala.

Semula bapaknya sosok yang paling keras menentang, sekarangpun telah melunak hati, tidak lagi bersuara lantang. “Doa bapak menyertaimu nak” meng-copy tuah emaknya.

Sukur tak mau serupa dengan saudaranya. “Harus beda” batinnya lagi. Tak perlulah menjadi tersohor macam Briptu Norman, cukup sekali-kali pulang kampung, sedan eropa varian terbaru di tunggang. Atau setidaknya, di Pondok Indah punya rumah gadang.
“Akan aku buktikan aku bisa.” Maka, itu pulalah menjadi alasan lain dia raib dari kampungnya.

Jakarta adalah tempat destinasi eksekusi dari cita-citanya. Jangan tanggung-tanggung, Kalau mau bertempur Ibukota poros  yang harus di taklukkan. Oidah, ada-ada saja, macam semangat pejuang empat lima.

Tahun-tahun awal sempat berliku, banyak halang menerjang. Lain padang lain ilalang, ternyata tak mudah menelikung belantara Jakarta. Susah payah beradaptasi dengan suasana Ibukota, perlu kecerdasan luar biasa agar tak terjebak tipudaya, tiap langkah dan wajah selalu mendua, tak ada yang benar-benar tulus memberi, selalu meminta pamrih. Jakarta tak seelok yang di terakan orang-orang, pikirnya. Sukur hampir putus asa, untung ada Lina tempat berkeluh- kesah, perempuan muda Sunda keturunan China yang tanpa lelah dan suka rela memotivasinya. Perempuan sederhana yang di kenalnya pada satu senja yang biasa saat pulang kerja. Tetangga rumah yang gemar bertegur sapa.

Sebelumnya, Sukur hampir tertipu, berakrab ria dengan janda yang awalnya mengaku seorang dara. Tiara namanya. Sebetulnya bukan sebuah cela bagi Sukur, sah-sah saja, janda juga manusia, apalagi tampak jelita pula parasnya. Yang membuat Sukur kuatir cemas, hikayat yang mengekor di belakangnya. Hah, bagaimana tidak, perempuan teramat jelita itu telah berpinak tiga dari tiga lelaki yang berbeda pula. Belum lagi, pekerjaannya pada waktu-waktu tak lazim bagi wanita pada umumnya. Di tengah remang lampu tempat musik antahberantah menyala, bersembur aroma alkohol jika mulut ternganga. Macam tak punya pekerjaan lain saja. Apa kata orang-orang kampungnya nanti. “Tak pandai rupanya Sukur mencari wanita.” Celaka duabelas, malu, mau di taruh mana muka keluarga.

Lantas dengan pertimbangan matang meranang, akhirnya Sukur mundur teratur. Tak mau dia di sebut salah dalam cecah langkah. Ini sebuah petaka, tak mau pula dia menanggung aib malu keluarga menikahi wanita tak tahu tatakrama. Dengan Tiara bercerai kasih, romansa cinta khatam seketika.

Perkara cinta sejatinya kemudian di rajut dengan perempuan ramah tamah. Lina marlina nama lengkapnya. Hmh, tidak jelita memang, tapi kualitas pribadinya amat berbakat menjadi dirinya seperti para wali, rupawan laku tercermin dari gemulai apik perangai. Berbanding senjang dengan Tiara. Akhirnya pada Linalah api cintanya berpaut. Sukur berketetapan hati, pada Linalah segala naif dan lugu cintanya nanti di sandarkan. Maka, kalaulah ada alasan lain Sukur betah berlama-lama merantaui di Jakarta, Linalah musababnya.

Syahdan tempo hari, Bapak Ibunya ke Jakarta, bertemu muka dengan Lina. Orang tuanya langsung setuju “ Tak jelita tak mengapa yang penting setia” kata Emaknya. “Ini varietas unggul” ucap Bapaknya isyarat setuju, meniru kata-kata penggiat pertanian yang kerap melakukan penyuluhan di kampungnya. Sukur tersenyum geli menahan tawa.

Gayung bersambut, ternyata Linapun pula telah lama memendam rasa, “Aku padamu.” Terbata kata, memerah merona riak muka Lina kala mengucap itu. Sukur berbunga-bunga. “Aku juga mencintaimu sampai batas napas” Sukur membalas. Lina berbunga-bunga. Suasana semerbak harum mewangi macam kembang setaman. Demikian, Sukur dan Lina bersulang kasih sayang. Asyik!.

Jadilah Sukur-Lina menaut kasih, menanak sayang menjerang asmara, mengarung alur samudra takdir sebagai pasang kekasih. Seiya sekata, seangguk sepakat, senasib sepenanggungan, serasa sehati, berdua tapi satu tujuan, orang-orang bilang itu kemistri. Amboi, indahnya.

Tanpa basa-basi, dalam sekejap mudah sekali Lina meredam hati calon mertua. Setelah urun rembuk keluarga, tak banyak kalam, emaknya memberi titah “ Segera nikahi Lina, sunting bunga sebelum layu.” Tanpa larut pikir, suka rela pula Sukur menunai perintah. Maka pada berapa tahun yang berlalu, resmilah Sukur menjadi nahkoda dari bahtera rumah tangganya.

Setelah menikah, menguat kuadrat semangat Sukur, “cinta telah di dapat” kini akan aku kejar satu hal lagi, bukankah Lina selalu di belakang, teman setia mengawan mimpi melangit cita. Pun pula ada bahan bakar cinta berdua tak terbatas yang selalu siap menjadi energi laju dari mimpi-mimpinya. Banyak orang yang gagal menggapai cita, tersebab tak mampu dan takut memelihara mimpi. Begitu Sukur mengguru sendiri.

Ah, benar saja. Tengoklah sekarang, hidup Sukur hampir mendekati sempurna, satu persatu asanya tercapai, semacam mimpi menjadi nyata, punya rumah mewah dan pendamping wanita istimewa. Sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui, begitu Sukur mentamsil diri. Berita pun tersebar. Sukur menjadi kaya. Warga kampungpun penasaran. Banyak yang awalnya malu-malu ingin tahu, tapi pada akhirnya tak kuasa menahan selubung tanya. “Bagaimana bisa?”

“Ini karena mimpi” Sukur menjawab.
“Kok bisa” koor warga penasaran.
“Bisa dong” Sukur mengucap pakai logat Jakarta.
“Caranya” desak warga.
“Cara urusan Allah, yang jelas semesta mendukung.”  Mantap. Sukur menjawab.
Warga kampung bingung, tak beriak muka habis kata.

Tiba-tiba fajar berlayar. Batanghari seperti biasa tenang, hanya selimut kabut menyungkup, beduk bertalu, adzan menyerang, panggilan subuh datang.

Hai, Sukur masih dalam kelana mimpi.[]



Rasidi Samee
Pondok pinang VI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar