Hikayat
mimpi Sukur
By: Rasidi Samee
Bukan Sukur
namanya bila tak cakap menggalah mimpi. Pandai sangat dia menjunjung angan.
Walau tak berpendidikan formal tinggi, pantang baginya menyurut langkah,
memiskinkan cita-cita. Tekad telah bulat. “Jakarta akan aku taklukkan.”
Semangatnya terpatri. Kini, jalan telah dia retas. Lorong gelap telah disinari,
lentera telah pula terpasang. Tiada suatu apapun yang dapat menghalang. Pun
pula diabaikannya imbauan orang-orang kampung, “Jangan ke Jakarta” dianggapnya
angin lalu.
Kalaulah ada hal
yang amat di seganinya adalah petuah dari bibir tua yang di dalam perutnya dia
pernah bersemayam sembilan bulan sepuluh hari. Perempuan yang amat dia hormati,
lebih dari apapun. Di dalam keluarganya, dia merupakan bungsu dari tujuh
saudara, tapi dialah orang yang paling sering mengapung mimpi. Ada-ada saja
asanya, macam-macam pula lakunya. “Aku akan mendapat cinta dan citaku di
Jakarta.” menjawab dari kerubung tanya sanak saudara, mendengar itu, yang lain
serentak geleng-geleng kepala tak percaya.
Sukur merasa
tersanjung terlahir sebagai petarung, sukar baginya berdiam berpangku tangan di
kampung. Oi, apalah istimewanya hidup dari limpah harta orang tua, tak ada
seninya, begitu Sukur berbisik ke telinganya sendiri.
Semangat karangnyalah
membuat hati induk semangnya luluh. Pada satu siang yang syahdu haru, Setelah
satu dua tetes air asin mengalir dari sudut pelupuk telaga teduh Emaknya.
Perempuan sepuh itupun berucap. “Doa Emak menyertaimu Nak.” Hmh, apalagi
pikirnya, restu telah di genggam, semacam layar telah terkembang, tinggal aku
kayuh biduk agar berlabuh, bukankah ridho Allah terletak pada ridho orang tua,
Sukur membatin. Baginya, itu lebih dari cukup menjadi bekal jauh untuk pergi
dari pelosok kampung pingiran sungai Batanghari, tengah pulau Sumatera.
Selain itu,
hatinya telah kukuh, tak maunya dia di cap tak maju, bujang lapuk tak
laku-laku. Mendengar itu, terkadang hatinya perih terasa teriris sembilu, pedas
pula telinganya menahan gulana pilu. Itu pulalah menjadi sekian alasan dia
keluar dari kampungnya, berkelana di belantara hutan beton Jakarta menjemput
cinta dan citanya.
Sebenarnya, bukan
motivasi keterbatasan finansial yang dia bawa serta ke Ibukota. Keluarganya
amat bestari, Bapaknya pernah menjabat kepala desa, sebagai tetua kampung
sering di sebut takzim para warga, berdiri terhormat dalam jajaran elit
masyarakat. Sebut saja haji Saad, tak perlu bingung macam Ayu ting-ting mencari
alamat. Semua orang tahu. Kebun karet berbidang-bidang, puluhan ternak kerbau
dan pulau-pulau pohon Duku, Durian,
dan Lengkeng, banjir laba kala musim buah tiba. Belum lagi, berpuluh-puluh
keramba apung di daerah aliran sungai beriak tenang Batanghari, tiga atau empat
kali purnama, kalau peruntungan lagi bagus bisa mendulang rupiah tak terhingga.
Kemilau harta
ini, tidak juga membuat Sukur besar kepala, tak mau dia bersiasat hati
menggelap mata. “Itu harta orang tua” katanya. Cukuplah orang tua membekal ilmu
agama, masalah materi biar lebih terhormat harus dicari sendiri.
Saudara-saudaranya banyak pula yang menjadi pegawai negeri, saban petang pulang
dengan seragam sama ciri, macam tak punya pakaian warna lain saja. Geli. Kini,
Sukur balas geleng-geleng kepala.
Semula bapaknya
sosok yang paling keras menentang, sekarangpun telah melunak hati, tidak lagi
bersuara lantang. “Doa bapak menyertaimu nak” meng-copy tuah emaknya.
Sukur tak mau
serupa dengan saudaranya. “Harus beda” batinnya lagi. Tak perlulah menjadi
tersohor macam Briptu Norman, cukup sekali-kali pulang kampung, sedan eropa varian
terbaru di tunggang. Atau setidaknya, di Pondok Indah punya rumah gadang.
“Akan aku
buktikan aku bisa.” Maka, itu pulalah menjadi alasan lain dia raib dari
kampungnya.
Jakarta adalah
tempat destinasi eksekusi dari cita-citanya. Jangan tanggung-tanggung, Kalau
mau bertempur Ibukota poros yang harus
di taklukkan. Oidah, ada-ada saja, macam semangat pejuang empat lima.
Tahun-tahun awal
sempat berliku, banyak halang menerjang. Lain padang lain ilalang, ternyata tak
mudah menelikung belantara Jakarta. Susah payah beradaptasi dengan suasana Ibukota,
perlu kecerdasan luar biasa agar tak terjebak tipudaya, tiap langkah dan wajah
selalu mendua, tak ada yang benar-benar tulus memberi, selalu meminta pamrih.
Jakarta tak seelok yang di terakan orang-orang, pikirnya. Sukur hampir putus
asa, untung ada Lina tempat berkeluh- kesah, perempuan muda Sunda keturunan
China yang tanpa lelah dan suka rela memotivasinya. Perempuan sederhana yang di
kenalnya pada satu senja yang biasa saat pulang kerja. Tetangga rumah yang gemar
bertegur sapa.
Sebelumnya, Sukur
hampir tertipu, berakrab ria dengan janda yang awalnya mengaku seorang dara.
Tiara namanya. Sebetulnya bukan sebuah cela bagi Sukur, sah-sah saja, janda
juga manusia, apalagi tampak jelita pula parasnya. Yang membuat Sukur kuatir
cemas, hikayat yang mengekor di belakangnya. Hah, bagaimana tidak, perempuan
teramat jelita itu telah berpinak tiga dari tiga lelaki yang berbeda pula.
Belum lagi, pekerjaannya pada waktu-waktu tak lazim bagi wanita pada umumnya.
Di tengah remang lampu tempat musik antahberantah menyala, bersembur aroma
alkohol jika mulut ternganga. Macam tak punya pekerjaan lain saja. Apa kata
orang-orang kampungnya nanti. “Tak pandai rupanya Sukur mencari wanita.” Celaka
duabelas, malu, mau di taruh mana muka
keluarga.
Lantas dengan
pertimbangan matang meranang,
akhirnya Sukur mundur teratur. Tak mau dia di sebut salah dalam cecah langkah.
Ini sebuah petaka, tak mau pula dia menanggung aib malu keluarga menikahi
wanita tak tahu tatakrama. Dengan Tiara bercerai kasih, romansa cinta khatam
seketika.
Perkara cinta
sejatinya kemudian di rajut dengan perempuan ramah tamah. Lina marlina nama
lengkapnya. Hmh, tidak jelita memang, tapi kualitas pribadinya amat berbakat
menjadi dirinya seperti para wali, rupawan laku tercermin dari gemulai apik
perangai. Berbanding senjang dengan Tiara. Akhirnya pada Linalah api cintanya
berpaut. Sukur berketetapan hati, pada Linalah segala naif dan lugu cintanya
nanti di sandarkan. Maka, kalaulah ada alasan lain Sukur betah berlama-lama
merantaui di Jakarta, Linalah musababnya.
Syahdan tempo
hari, Bapak Ibunya ke Jakarta, bertemu muka dengan Lina. Orang tuanya langsung
setuju “ Tak jelita tak mengapa yang penting setia” kata Emaknya. “Ini varietas
unggul” ucap Bapaknya isyarat setuju, meniru kata-kata penggiat pertanian yang
kerap melakukan penyuluhan di kampungnya. Sukur tersenyum geli menahan tawa.
Gayung bersambut,
ternyata Linapun pula telah lama memendam rasa, “Aku padamu.” Terbata kata,
memerah merona riak muka Lina kala mengucap itu. Sukur berbunga-bunga. “Aku
juga mencintaimu sampai batas napas” Sukur membalas. Lina berbunga-bunga.
Suasana semerbak harum mewangi macam kembang setaman. Demikian, Sukur dan Lina
bersulang kasih sayang. Asyik!.
Jadilah Sukur-Lina
menaut kasih, menanak sayang menjerang asmara, mengarung alur samudra takdir
sebagai pasang kekasih. Seiya sekata, seangguk sepakat, senasib sepenanggungan,
serasa sehati, berdua tapi satu tujuan, orang-orang bilang itu kemistri. Amboi,
indahnya.
Tanpa basa-basi,
dalam sekejap mudah sekali Lina meredam hati calon mertua. Setelah urun rembuk
keluarga, tak banyak kalam, emaknya memberi titah “ Segera nikahi Lina, sunting
bunga sebelum layu.” Tanpa larut pikir, suka rela pula Sukur menunai perintah.
Maka pada berapa tahun yang berlalu, resmilah Sukur menjadi nahkoda dari
bahtera rumah tangganya.
Setelah menikah,
menguat kuadrat semangat Sukur, “cinta telah di dapat” kini akan aku kejar satu
hal lagi, bukankah Lina selalu di belakang, teman setia mengawan mimpi melangit
cita. Pun pula ada bahan bakar cinta berdua tak terbatas yang selalu siap
menjadi energi laju dari mimpi-mimpinya. Banyak orang yang gagal menggapai
cita, tersebab tak mampu dan takut memelihara mimpi. Begitu Sukur mengguru
sendiri.
Ah, benar saja.
Tengoklah sekarang, hidup Sukur hampir mendekati sempurna, satu persatu asanya
tercapai, semacam mimpi menjadi nyata, punya rumah mewah dan pendamping wanita
istimewa. Sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui, begitu Sukur mentamsil diri.
Berita pun tersebar. Sukur menjadi kaya. Warga kampungpun penasaran. Banyak
yang awalnya malu-malu ingin tahu, tapi pada akhirnya tak kuasa menahan
selubung tanya. “Bagaimana bisa?”
“Ini karena
mimpi” Sukur menjawab.
“Kok bisa” koor
warga penasaran.
“Bisa dong” Sukur
mengucap pakai logat Jakarta.
“Caranya” desak
warga.
“Cara urusan
Allah, yang jelas semesta mendukung.”
Mantap. Sukur menjawab.
Warga kampung
bingung, tak beriak muka habis kata.
Tiba-tiba fajar
berlayar. Batanghari seperti biasa tenang, hanya selimut kabut menyungkup,
beduk bertalu, adzan menyerang, panggilan subuh datang.
Hai, Sukur masih
dalam kelana mimpi.[]
Rasidi Samee
Pondok pinang VI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar