RCBT : Dari buku harian Tsabitah
Aku melihat wajah cemas kedua orangtuaku. Aku menatap keduanya lurus, dan
terang-terangan. Otakku memerintahkan untuk mempertahankan momen ini. Aku ingin tahu, apa yang terjadi. Perasaanku
mengatakan pasti ada hal yang luar biasa telah terjadi.
Beberapa tetangga juga berkerumun mengitari kedua orangtuaku. Dari
cakap-cakap yang aku dengar, aku tahu. Tsabitah terjatuh dari tempat tidur,
bibirnya berdarah, saat Uminya sibuk memasak. Bawa ke klinik, seru mereka
kompak.
Aku masih mendengar semuanya. Bahkan ketika di ruang tunggu klinik disambut
hangat oleh Bidan Ella -satu wajah yang sangat familier karena berjasa membantu
proses kelahiranku- aku senang sekali. Banyak orang, pikirku. Sesekali aku
bertepuk tangan, dan mengeracau ini itu. Bidan Ella tertawa saat aku tersenyum.
”Tak ada hal yang patut dikhawatirkan,” ujarnya tak dibuat-buat,
menenangkan Umiku. Aku lega.
Sebelumya. Aku tidur sendirian di atas matras setebal 30 cm, setelah
paginya aku dimandikan dan di suapi makanan oleh Umi. Biasanya aku tidur satu
sampai satu setengah jam. Entah kenapa aku tak begitu mengantuk. Baru beberapa
menit berlalu aku bangun tanpa suara tangisan. Aku tak mau merepotkan Umi.
Kalau Umi tahu aku terjaga pasti ia akan kembali mendekapiku. Dan tentu akan
membuat banyak pekerjaannya tertunda. Umi sebenarnya telah melindungi diriku
dengan guling dan bantal di sekelilingku. Tapi hal tersebut justru yang membuat
adrenalinku terpacu. Aku pikir aku bisa menaklukkan rintangan itu.
Ada cangkir plastik merah strowbery di bawah sana. Tepat di pojokkan rak
buku-buku Abiku. Cangkir plastik dan buku beberapa bulan ini menjadi
kegemaranku. Entah kenapa aku amat terobsesi akan keduanya. Rasanya gigiku yang
baru tumbuh memerintahkan untuk mengigit-gigit benda-benda itu. Mungkin dua
benda ini terlalu akrab di kediamanku. Gelas beling itu berbahaya kita pakai
cangkir plastik saja kata Abi, aku tak
mengerti, orang tua memang sering membuat aku bingung. Sedangkan buku, aku
sering melihat Abi menatap mesra benda itu, serius sekali. Maka tak jarang
ketika Abiku tak sengaja terlelap sambil memegang benda itu aku segera
meraihnya dan merobek beberapa halaman. Aku ingin merasakan apakah benda yang ditatap
mesra itu enak pula kalau dimakan.
Umi sering menasehatiku agar aku jangan terlalu banyak bergerak jika sedang
di tempat tidur.
”Nanti jatuh,” katanya.
”Kalo jatuh memang kenapa,” aku bertanya.
”Kalau jatuh ya sakitlah rasanya Nak,” katanya lagi.
”Apa guna rasa sakit,” tanyaku lugu.
”Rasa sakit berguna mengajarkan kita, tapi kalau rasa sakit sampai terasa
berarti semua sudah terlambat Nak,” katanya.
”Tapi itulah gunanya orangtua, untuk mengajarimu agar kamu tak terjatuh,”
lanjutnya.
Waw, aku pikir ini menakjubkan sekali. Ada sesi percakapan emosional antara
aku dan Umi. Transisi bahasa non verbal yang luar biasa mulus, tak perlu
penerjemah. Ini bahasa Ibu.
Di tempat tidur inilah, entah untuk kesekian kali kami membicarakan banyak
hal atau membicarakan hal-hal yang sama. Berulang-ulang. Tapi aku tetap suka.
Termasuk masalah terjatuh dan rasa sakit. Seperti kata Umi, semuanya sudah
terlambat ketika mendapatiku meraung di pojok rak buku. Aku terjatuh dengan
bagian muka lebih dulu mencium lantai. Bibirku berdarah. Benar merasa sakit.
Kurang lebih begitulah.[]
RasidiSamee
Pondokpinang 020613
Tidak ada komentar:
Posting Komentar